Kurikulum 2013 yang masih diragukan?
Pada akhir-akhir ini, kita telah mendengar berita terkait isu Rancangan kurikulum 2013. Pada kurikulum 2013 ini, Pemerintah akan mengubah kurikulum Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, serta Sekolah Menengah Kejuruan dengan menekankan aspek kognitif, afektif, psikomotorik melalui penilaian berbasis tes dan portofolio saling melengkapi.
Rancangan Kurikulum 2013 mengurangi mata pelajaran di tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Mata pelajaran SD yang sebelumnya ada 10 dipadatkan menjadi 6, sedangkan mata pelajaran SMP yang sebelumnya berjumlah 12 diringkas menjadi 10.
Enam mata pelajaran yang diajarkan di SD itu adalah Matematika, Bahasa Indonesia, Agama, Pendidikan Jasmani, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, dan Kesenian. Sementara IPA dan IPS yang sebelumnya ada di daftar mata pelajaran, akan diajarkan secara terpadu dengan pelajaran-pelajaran lain sesuai tema yang sedang dibahas. Menurut saya, bagaimana bisa mata pelajaran IPA dan IPS dipadukan dengan mata pelajaran lain sementara sains (seperti IPA dan IPS) adalah pengetahuan ”ilmiah” yang terbentuk dari model berpikir induktif aposteriori, bertolak dari fakta-fakta empirik yang partikular. Ketakseimbangan ini akan memengaruhi alur dan kekuatan berpikir serta nalar kritis siswa. Tidak hanya siswa, guru juga akan mengalami kesulitan dalam memadukan materi, misal seorang guru Bahasa Indonesia mengajarkan Bahasa Indonesia dengan dikaitkan dengan materi IPA, sedangkan guru ini hanya menguasai dalam bidangnya takutnya ilmu yang disampaikan oleh guru tidak tersalur maksimal di siswanya. Bangsa Indonesia yang masih diliputi alam pikiran mitis dan mistis kiranya perlu pendidikan yang menumbuhkan budaya menalar secara saintifik sejak dini. Oleh sebab itu, mata pelajaran sains (IPA dan IPS) di SD, khususnya di kelas lanjut, seharusnya berdiri sendiri, tak diintegrasikan ke dalam mata pelajaran lain. Sementara pada kelas I-III SD semua materi dan nilai-nilai mata pelajaran cukup disampaikan dalam tiga mata pelajaran: Membaca, Menulis, dan Berhitung.
Daripada mengimplisitkan sains (IPA dan IPS) ke mata pelajaran lain, akan lebih baik jika mengeluarkan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes) dan Seni Budaya, kemudian menjadikannya sebagai ekstrakurikuler wajib. Dua mata pelajaran ini (juga keterampilan) tak jelas tujuan institusional dan kurikulernya sehingga perlu dirumuskan kembali. Karena dengan masuk kurikulum, semua murid dipaksa dapat materi dan kegiatan penjaskes, kesenian, dan keterampilan seragam. Sementara itu, karena keterbatasan fasilitas dan kemampuan guru, pembelajaran pun menjadi teoretis. Sejak kelas I SD, murid lebih banyak membaca, mencatat, dan menghafal, kemudian diuji tentang berbagai definisi seperti ”berenang gaya kupu-kupu” tanpa berenang dan bermacam teori musik tanpa bernyanyi yang baik dan benar.
Seharusnya setiap murid mendapatkan penjaskes dan seni budaya sesuai bakat dan minat yang mereka miliki, karena itu tak layak diberikan secara klasikal. Pendidikan olahraga dan seni budaya di sekolah mestinya berkelindan dengan strategi pembangunan keolahragaan dan kebudayaan. Pemerintah/pemerintah daerah bersama sekolah bersinergi memfasilitasi berbagai kebutuhan. Misal, pada setiap kecamatan atau kelurahan terdapat minimal satu lapangan bola kaki, kolam renang, sanggar/gedung kesenian standar yang dapat dipergunakan oleh masyarakat dan sekolah sekitar. Sekolah dan guru penjaskes serta kesenian mengoordinasi dan bertanggung jawab atas terselenggaranya berbagai program dan kegiatan ekstrakurikuer tersebut. Dengan demikian, aktivitas olahraga dan seni budaya akan berakar, bertumbuh, dan berkembang dalam masyarakat secara terarah. Jika memang fasilitas yang dimiliki telah memadai, barulah benar jika Penjaskes dimasukkan kedalam mata pelajaran wajib bagi anak SD, jika fasilitas saja tidak mendukung bagaimana bisa seorang guru mengajarkan praktek tentu ilmu yang disalurkan hanya berupa teori saja dan siswa hanya mampu menguasai teori tanpa mengetahui praktek yang benar.
Sementara itu, 10 mata pelajaran yang akan diajarkan di tingkat SMP adalah Pendidikan Agama, Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Bahasa Inggris, Seni Budaya dan Muatan Lokal, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, dan Prakarya. Dan mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi dihilangkan dari kurikulum tersebut, akan tetapi metode pembelajaran yang digunakan oleh seorang guru harus berbasis TIK. Bagaimana bisa hal ini terjadi, sementara seorang siswa tidak untuk memperoleh ilmu TIK. Hal ini akan mempersulit guru dalm mengajar, guru harus membuat strategi pembelajarn yang sedemikian rupa sehingga pembelajaran ini berbasis TIK dan apa yang disampaikan akan dimengerti oleh siswanya. Selain itu guru juga harus memberikan penjelasan pada anak apa itu pengertian TIK karena ilmu TIK sendiri tidak didapat oleh anak. Nah, yang menjadi kendala apakah seorang guru benar-benar menguasai ilmu TIK?
Jika nanti kurikulum ini dilaksanakan perlu adanya peningkatan kompentensi guru, selain itu perlu diadakannya juga pembelajaran bagi guru sehingga menjadi guru yang kompeten. Pembelajaran bagi guru ini bisa dilaksanakan sebulan sekali atau 2 minggu sekali sehingaa meningkatakan kompetensi dan kulaitas guru dalam mengajar. Karena Kurikulum baru ini mensyaratkan kompetensi guru yang lebih baik dan beban ada di guru seta ujung tombak ada pada guru. Apapun muatan kurikulum yang diberikan pada murid, yang akan menyampaikan materi di kelas adalah guru. Jadi mengubah kurikulum tanpa meningkatkan kualitas guru, tak ada artinya.